MENIKAHI WANITA HAMIL


Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal 242, dikatakan tentang absah-nya seorang pria menikahi wanita yang sedang hamil dari zina.
نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن امكانه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وامكان وطئه لحقه وكذا ان جهلت المدة ولم يدر هل ولدته لمدة الإمكان أو لدونها على الراجح وان ولدته لدونها لم يلحقه ..... لعل الصواب.
Seorang laki-laki yang mengawini wanita hamil dari zina. Kemudian wanita itu melahirkan anak dalam masa yang mungkin anak itu dari laki-laki yang mengawininya, yaitu bahwa wanita itu melahirkan sesudah enam bulan dan dua detik dari mulai akad nikahnya dan kemungkinan persetubuhannya, terbangsalah anak itu kepada laki-laki yang menikahinya. Dan demikian pula jika tidak diketahui apakah perempuan itu melahirkan bayi dalam masa yang memungkinkan laki-laki yang menikahinya untuk menyetubuhinya atau kurang dari masa itu, menurut qaul yang lebih jelas. Dan jika wanita yang hamil itu melahirkan bayi kurang dari masa itu, maka bayi yang dilahirkan tidak dapat dibangsakan kepadanya kepada laki-laki yang mengawininya.
Berhubung bayi yang lahir dibangsakan kepada ibunya;
  • Kalau anak itu lahir perempuan, setelah dewasa lalu dinikahkan, siapa walinya?
  • Terhadap bapaknya (suami ibunya) menjadi mahram atau tidak?
  • Bagaimana hak warisnya?

Jawaban

Yang menjadi wali adalah HAKIM, berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dari ‘Aisyah ra.:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
"Maka Sulthan (penguasa) itu adalah wali bagi orang yang sama sekali tidak mempunyai wali"
Jika suami ibunya itu telah menyetubuhi ibunya, maka anak yang dilahirkan oleh ibunya itu menjadi mahram sebab mushaharoh dari suami ibunya. Jika belum disetubuhi, maka tidak menjadi mahram.

Dasar Pengambilan

Firman Allah dalam Al Qur'an surat 4 An Nisa' ayat 23 yang antara lain berbunyi:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Hukum Menikah Saat Hamil

Permasalahan ini bermula dari asumsi menikah karena ‘kecelakaan’ hanya sah di hadapan negara. Sehingga ketika si wanita telah melahirkan maka wajib mengadakan nikah ulang agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian? Untuk mengetahui hal ini kita tertuntut untuk membahas bagaimana sebenarnya hukum menikah karena hamil di luar nikah.
Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijma’ tentang sahnya menikahi wanita pezina. Misalnya dalam Raudhah:
فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد
روضة الطالبين وعمدة المفتين ج8 ص375
Atau dalam Fathul Bari:
قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني تزوج من زنى بها
فتح البار ج9 ص164
Namun demikian redaksi ungkapan ijma’nya tidak sharih. Perkataan an-Nawawi ‘bila khilaf’ (tanpa ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada tiadanya perbedaan pendapat dalam satu madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam Nawawi. Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Birri ‘minal amshar’ (dari segolongan tempat) bisa merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.
Bukti dari tidak adanya ijma’ adalah pernyataan al-Mawardi ada tiga pendapat hukum menikahi wanita pezina. Pertama, halal menurut jumhur fuqaha’ dan sahabat. Kedua, tidak halal menurut beberapa sahabat. Ketiga, halal dengan catatan (al-Hawi al-Kabir 9/492-493).
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah.
Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
2. Mutlak sah.
Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina.
Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
3. Sah dengan syarat
selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:
لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat
menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat.
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.
الكتاب : بغية المسترشدين ص419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam