MEMUASKAN ISTRI SAAT BERSETUBUH



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahim.

Berumah tangga menurut Islam adalah untuk membentuk keluarga yang SaMaWa (Sakinah, Mawaddah Warahmah). Hal ini senada dengan firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21.


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21)

Penjelasan tentang Sakinah menurut tafsir Ibnu Katsir dijelaskan ada tiga unsur yaitu saling mengikat, condong kepadanya dan merasa tenang dengannya. Dengan kata lain, Sakinah memiliki arti ketenangan. Salah satu ketenangan yang didapat adalah penyaluran syahwat secara halal menurut agama dan untuk mencapainya tak lain adalah dengan melakukan pernikahan.

Untuk bisa menggapai ketenangan yang dimaksud, setiap suami atau istri harus sama-sama saling terpuaskan karena keduanya memiliki hak yang sama. Sebuah ayat menyatakan bahwa:

“Istri memiliki hak (yang harus dipenuhi suami) sebagaimana kewajiban yang harus ia penuhi untuk suaminya, dengan benar (dalam batas wajar)” (QS Al Baqarah 228)

Sehingga dengan demikian dalam berbagai jenis hubungan apapun, suami dan istri harus menerapkan pedoman ini. Bahkan untuk bisa mencapainya bisa dilakukan dengan jalan bekerjasama dan saling tolong menolong. Saat suami telah merasakan kepuasan dalam berhubungan intim, ia tidak boleh egois dan membiarkan istrinya terlantar dan tak terpenuhi kepuasannya.

Meski dengan alasan ibadah, suami yang tidak memenuhi kewajibannya sangat tidak diperbolehkan. Ini karena setiap diri istri memiliki hak yang harus dipenuhi suaminya. Ini pun pernah dialami oleh sahabat Nabi yaitu Abu Darda r.a

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istri Abu Darda’ yakni Ummu Darda’ dalam kondisi kurang baik. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tidak lagi mempedulikan dunia.” Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. Abu Darda’ menjawab, “Maaf, saya sedang puasa.” Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ memakan makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Melihat itu, Salman mengatakan, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (melayani istri). Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari)

Selain hadist diatas, terdapat pula hadist yang lebih spesifik akan hak istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ketika sedang berjima'.

“Jika seseorang di antara kamu berhubungan dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Jika ia menyelesaikan kebutuhannya sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut hingga istrinya mendapatkan kepuasannya juga.” (HR. Abdur Razaq dan Abu Ya’la, dari Anas)

Beberapa pendapat dari Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa suami memiliki kewajiban untuk menggauli istrinya sekemampuannya dan berdasarkan kecukupan sang istri.

Sementara Ibnu Qayyim Al Jauziyah berpendapat bahwa setiap suami harus memuaskan hasrat sang istri ketika berhubungan badan. Bahkan jika perlu, puaskan layaknya ia puas dalam hal makan.

Namun suami kadang tidak selamanya sehat dan mampu untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Ada masanya suami mengalami sakit dan terhalang secara medis untuk melakukan hubungan intim. Solusi dari permasalahan tersebut dikembalikan lagi kepada komitmen kedua pasangan karena pernikahan yang sejati akan didasarkan pada saling ridha diantara keduanya. Keridhaan tersebut pun harus diaplikasikan dalam berbagai permasalahan lainnya sehingga nantinya rumah tangga tidak mudah goyah dan tetap harmonis dalam jalan yang Allah ridhai.

Alhamdulillahirabbil'alamiin.

Wssalamu'alaikum Wr. Wb.

DELIMA SANTRI

Terinspirasi dari sebuah kisah Buah Delima dan Santri yang taat dengan kejujurannya




Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba iamelihat buah delima (satu riwayat: Apel) yang hanyut terbawa air sungai. Ia ambil buah itu dan tanpa pikir panjang langsung memakannya. Ketika ia sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya. Sipemuda berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana ada pohon delima.

Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.
Sipemuda lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah dia dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah baya. “Saya telah memakan buah delima anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah anda mengihlaskannya?” kata si pemuda.
Orang tua itu, terdiam sebentar, lalu menatap tajam. “Tidak semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga dan membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa gaji,” katanya kepada si pemuda.
Demi memelihara perutnya dari makanan yang ia anggap tidak halal, si pemuda pun langsung menyanggupinya. Setelah sebulan, ia lalu menemui pemilik kebun. “Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah aku makan?” “Tidak bisa ! ada satu syarat lagi, Kamu harus menikahi putri saya; Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.”
si pemuda terdiam, Tak kuasa menolak persyaratan itu. Ia pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan disaksikan beberapa orang, tanpa perantara penghulu.
Setelah akad nikah berlangsung, pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis buta, tulis, bisu dan lumpuh yang ditemui seperti yang dikatakan pemilik kebun, tapi seorang gadis cantik yang nyaris sempurna. Si pemuda balik lagi dan menemui pemilik kebun "maaf pak,gadis yang kutemui bukan yang anda sebutkan ciri-cirinya, ia tak buta tidak tuli dan bisu serta lumpuh." protes si pemuda. Sang pemilik kebun tersenyum,iapun menjelaskan :" yang aku maksud ialah buta dari zina mata , tuli dari mendengar sifat tercelabisu dari kata-kata kotor dan lumpuh dari jalan maksiat. Jadi sekarang temuilah dan ia sepenuhnya milikmu".
Tidak rela melepas si pemuda begitu saja; Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak halal. Ia ambil sipemuda itu sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Muhammad bin Idris As-Syafi'i, seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin didunia.
Nasab beliau : Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syaafi' bin Saa ib bin 'Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin 'Abdi Manaf. Imam syafi'i nasabnya bertemu dengan Nabi saw di 'Abdi manaf,jadi beliau bukan keturunan Nabi saw.
Itulah sekelumit cerita seorang yang wira'i dalam menjaga makanan agar dalam darahnya tak secuilpun bercampur barang haram.

https://www.facebook.com/groups/delimasantri/?fref=ts

DELIMA SANTRI



Alkisah.
Di Kisahkan bahwa Mbah Bungkul bernama asli Ki Ageng Supa dan ketika muallaf namanya berganti menjadi Ki Ageng Mahmudin. Dia mempuanya seorang putri bernama Situ wardah.

Suatu hari, Ki Ageng Mahmudin ini berniat menikahkan putrinya namun masih kesulitan untuk mencari siapa pasangan yang cocok. Hingga, akhirnya, Ki Ageng ini berucap sayembara. Uniknya, sayembara itu tidak diumumkan melainkan diucapkan dalam hati.

Untuk mencari siapa gerangan jodoh putrinya, Ki Ageng menghanyutkan buah delima di bantaran Kalimas. Saat ini sungai tersebut masih ada yakni berada di kawasan Jalan Darmo Kali. "Siapa yang menemukan buah delima itu, jika laki-laki akan diambil menantu menikah dengan Siti Wardah," begitu kira-kira nazar Ki Ageng Bungkul.

Kebetulan di bagian Hilir Kali Mas (saat ini kira-kira berada di Kawasan Jalan Pegirian) seorang santri Sunan Ampel sedang mandi dan menemukan buah delima tersebut. Santri itu kemudian menyerahkan buah delima kepada Sunan Ampel karena sebagai santri sangat terlarang memakan buah yang tidak diketahui asal usulnya. Hingga akhirnya, Sunan Ampel pun menyimpan buah delima tersebut.

Keesokkan harinya, Ki Ageng Mahmudin menelusuri sungai dan dijumpai sejumlah santri Sunan Ampel sedang mandi. Ia yakin, yang menemukan buah delima itu adalah salah satu dari santri ini. Hingga akhirnya, Ki Ageng Mahmudin menemui Sunan Ampel untuk menanyakan ikhwal buah delima itu.

Ki Ageng bertanya kepada Sunan Ampel apakah ada di antara para santri yang menemukan buah Delima yang hanyut di Sungai itu. Kontan saja, Sunan Ampel menjawab ada. Bahwa yang menemukan adalah Raden Paku. Raden Paku sendiri adalah anak Sunan Giri dan merupakan anggota Wali Songo yang memangku Giri Kedaton, Gresik.

Maka Ki Ageng akhirnya menyampaikan nazarnya bahwa yang menemukan buah tersebut harus dinikahkan dengan putrinya, Siti Wardah. Karena nazar bersifat wajib dilaksanakan, maka Raden Paku harus menikah dengan Siti Wardah.

Dalam 'Riwayat Surabaya, rek' dikisahkan, sebenarnya pada hari yang sama Raden Paku akan dinikahkan dengan Dewi Murtasiyah yang tak lain adalah putri Sunan Ampel. Hingga akhirnya, pada hari yang sama Raden Paku menikahi dua putri yakni Dewi Murtasiyah pada pagi harinya dan pada petang harinya menikahi Dewi Wardah, putri Mbah Mbungkul. Maka karena hubungan inilah kenapa setiap peziarah yang datang ke makam Sunan Ampel selalu mampir ke makam Mbah Bungkul.

Terinspirasi kisah buah Delima dan santri hingga lahirlah Group Facebook "DELIMA SANTRI"

https://www.facebook.com/groups/delimasantri/?fref=ts

DELIMA SANTRI

Kasyifal Balwa
37 menit
Nama grup ini kan (DELIMA SANTRI)nah kata "DELIMA" itu yang pas di cocokan & di artikan bagaimana ? & seperti apa menurut kalian ? Atau mungkin kalian mengira-ngira sendiri maksud dari nama grup itu apa ? Kok ya "DELIMA" temen...  nek "DILEMA" malah menurut ku lebih cocok & bisa di terima oleh akal.. ckekekekek   
#‎Punten_ya_admin ? cuma iseng  
Jawaban admin :

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Terinspirasi dari kisah seorang santri yang sangat jujur penjaga kebun Delima *

Alkisah langsung saja kita ke TKP... eng ing eeeeng,,,,,,,,,
Kita tentu mengenal Abdullah bin Mubarak. Seorang ulama besar tabi’ut tabi’in yang lahir pada 118 H. Beliau menjadi rujukan fatwa di zamannya, bahkan setelah beliau tiada. Beliau dikagumi ibadah dan kezuhudannya, sekaligus semangat jihadnya.

Kita mengenal Abdullah bin Mubarak, namun tahukah kita siapa ayahnya? Membaca salah satu episode kehidupan Mubarak, kagumlah kita betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.

Belasan tahun sesudah abad pertama Hijriyah berlalu, Mubarak masih menjadi budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima. Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun delima itu. Suatu hari, majikannya datang ke kebun itu dan minta diambilkan delima yang manis.

Mubarak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya. “Ini masam, Mubarak,” katanya dengan nada kecewa, “carikan yang manis”

Mubarak mengambilkan buah kedua. “Ini juga masam, carikan yang manis!” kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.

Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. “Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?”

“Saya tidak dapat membedakannya, tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya?”

Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. “Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal kau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini”

“Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya. Karenanya aku tidak berani mencicipinya walaupun satu buah,” jawab Mubarak.

Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran penjaga kebunnya. Belum pernah ia mendapati seseorang yang lebih jujur dan memegang amanah melebihi budak di hadapannya ini.

“Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah,” kata sang majikan mengubah topik pembicaraan, “menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?”

“Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan,” jawab Mubarak, “Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama.”

Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putrinya. Dan dari pernikahan mereka, lahirlah Abdullah bin Mubarak pada tahun 118 hijriyah.

Demikianlah, kejujuran selalu berbuah manis. Apa yang dialami Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, dari budak menjadi orang yang merdeka. Bahkan, kejujuran mempertemukannya dengan cinta dan jodohnya. Apa yang dialami Mubarak juga mirip dengan apa yang dialami oleh ayah Imam Syafi’i. Kejujuran selalu berbuah manis.

Kisah ini – seperti halnya kisah kejujuran ayah Syafi’i- juga menegaskan, bahwa jika kita menginginkan anak yang shalih, maka hal itu harus dimulai dari diri kita. Dengan menjadi pribadi yang jujur, dengan menjadi pribadi yang berakhlak mulia, dengan menjadi pribadi yang shalih yang berpegang teguh pada agama. Lalu menikah dengan wanita yang jujur, berakhlak mulia dan berpegang teguh pada agama juga. Setelah itu, dengan memperbanyak doa, tentunya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga lahirlah anak-anak shalih yang kita dambakan bersama.Amiiin. 

Semoga disini ada yang mendapat berkah seperti kisah diatas.Dapat jodoh, dapat ilmu dapat saudara dapat apa saja yang bermanfaat.#Kisah ini saya kutip dari berbagai sumber yang terpercaya.Adapun ada kesamaan nama dan tempat itu bukanlah suatu kesengajaan dan hanya kebetulan saja,Sekian terima kasih.Wassalamu'alaikum Wr. Wb. 

https://www.facebook.com/groups/delimasantri/?fref=ts

ALASAN RASULULLAH MELARANG BERPOLIGAMI

Mungkin anda pernah mendengar Rasulullah melarang Ali berpoligami dg putri abu jahal. Hal ini kemudian dijadikan landasan oleh sekelompok orang meniadakan poligami yg sudah jelas di syariatkan dalam al-Qur'an.
Mengapa Rasulullah melarang?.
Berikut jawabannya : ⇩⇩

فيه إشارة إلى إباحة نكاح بنت أبي جهل لعلي -رضي الله عنه- ولكن نهى عن الجمع بينها وبين ابنته فاطمة -رضي الله عنها- لأن ذلك يؤذيها وأذاها يؤذيه -صلى الله عليه وسلم- وخوف الفتنة عليها بسبب الغيرة فيكون من جملة محرمات النكاح الجمع بين بنت نبي الله عليه الصلاة والسلام وبنت عدو الله.
Di dalam hadis (larangan Ali berpoligami) sebenarnya mengisyaratkan bolehnya menikahi putri abu jahal bagi Ali r.a, tetapi Rasulullah melarang mengumpulkan (poligami) antara Fatimah r.a putri Rasulullah dan Juwairiyah putri abu jahal, sebab hal itu akan menyakiti Fatimah dan menyakiti Fatimah itu sama saja menyakiti Rasulullah saw, juga ditakutkan adanya fitnah terhadap Fatimah sebab kecemburuan. Maka sebagian yg termasuk dlm kumpulan pernikahan yg diharamkan mengumpulkan antara putri Rasulullah saw, dan putri musuh Allah.
[Irsyad al-Sari 5/199]