MENIKAHI WANITA HAMIL


Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal 242, dikatakan tentang absah-nya seorang pria menikahi wanita yang sedang hamil dari zina.
نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن امكانه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وامكان وطئه لحقه وكذا ان جهلت المدة ولم يدر هل ولدته لمدة الإمكان أو لدونها على الراجح وان ولدته لدونها لم يلحقه ..... لعل الصواب.
Seorang laki-laki yang mengawini wanita hamil dari zina. Kemudian wanita itu melahirkan anak dalam masa yang mungkin anak itu dari laki-laki yang mengawininya, yaitu bahwa wanita itu melahirkan sesudah enam bulan dan dua detik dari mulai akad nikahnya dan kemungkinan persetubuhannya, terbangsalah anak itu kepada laki-laki yang menikahinya. Dan demikian pula jika tidak diketahui apakah perempuan itu melahirkan bayi dalam masa yang memungkinkan laki-laki yang menikahinya untuk menyetubuhinya atau kurang dari masa itu, menurut qaul yang lebih jelas. Dan jika wanita yang hamil itu melahirkan bayi kurang dari masa itu, maka bayi yang dilahirkan tidak dapat dibangsakan kepadanya kepada laki-laki yang mengawininya.
Berhubung bayi yang lahir dibangsakan kepada ibunya;
  • Kalau anak itu lahir perempuan, setelah dewasa lalu dinikahkan, siapa walinya?
  • Terhadap bapaknya (suami ibunya) menjadi mahram atau tidak?
  • Bagaimana hak warisnya?

Jawaban

Yang menjadi wali adalah HAKIM, berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dari ‘Aisyah ra.:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
"Maka Sulthan (penguasa) itu adalah wali bagi orang yang sama sekali tidak mempunyai wali"
Jika suami ibunya itu telah menyetubuhi ibunya, maka anak yang dilahirkan oleh ibunya itu menjadi mahram sebab mushaharoh dari suami ibunya. Jika belum disetubuhi, maka tidak menjadi mahram.

Dasar Pengambilan

Firman Allah dalam Al Qur'an surat 4 An Nisa' ayat 23 yang antara lain berbunyi:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Hukum Menikah Saat Hamil

Permasalahan ini bermula dari asumsi menikah karena ‘kecelakaan’ hanya sah di hadapan negara. Sehingga ketika si wanita telah melahirkan maka wajib mengadakan nikah ulang agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian? Untuk mengetahui hal ini kita tertuntut untuk membahas bagaimana sebenarnya hukum menikah karena hamil di luar nikah.
Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijma’ tentang sahnya menikahi wanita pezina. Misalnya dalam Raudhah:
فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد
روضة الطالبين وعمدة المفتين ج8 ص375
Atau dalam Fathul Bari:
قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني تزوج من زنى بها
فتح البار ج9 ص164
Namun demikian redaksi ungkapan ijma’nya tidak sharih. Perkataan an-Nawawi ‘bila khilaf’ (tanpa ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada tiadanya perbedaan pendapat dalam satu madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam Nawawi. Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Birri ‘minal amshar’ (dari segolongan tempat) bisa merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.
Bukti dari tidak adanya ijma’ adalah pernyataan al-Mawardi ada tiga pendapat hukum menikahi wanita pezina. Pertama, halal menurut jumhur fuqaha’ dan sahabat. Kedua, tidak halal menurut beberapa sahabat. Ketiga, halal dengan catatan (al-Hawi al-Kabir 9/492-493).
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah.
Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
2. Mutlak sah.
Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina.
Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
3. Sah dengan syarat
selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:
لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat
menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat.
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.
الكتاب : بغية المسترشدين ص419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam
MEMBUKA LEMBAR AL-QUR'AN DENGAN LUDAH

Hasan Efendi

assalamualaikum,
tanya tadz, muslim punya kebiasaan mmbca alquran tiap slse shlt mghrib, karena lapuk d mkan umur, kertas2 muskafx sudah tipis dan sulit tuk di buka/di balik, untuk mempermudah, tiap mmbalik, muslim mmbasahi telunjukx dgn sedikit ludah, dan sret, terbukalah halaman berikutx,
bolehkah itu tadz? mohon solusix...



Jawaban :

Romy El-falah : Tidak boleh karna termasuk merendahkan al-quran

Hasan Efendi : tujuan muslim, untuk mempermudah, itu saja...

Romy El-falah : Mempermudah bisa dengan banyak cara, dan setiap pekerjaan selalu berhubungan dengan rel yg di tetapkan syara', bila al-quran di baca di mesjid maka pahalanya akan berlipat, bila di baca di wc penghinaan namanya, dan cara memperlakukan alqur'an pun juga begitu.

Romy El-falah : Sebenarnya membalik alqur'an dgn cara tangan kering tidak sulit tapi di anggap kurang mudah dan kurang cepat, alhasil dgn cara apa saja tp jgn dgn air ludah atau hal2 yg di anggep merendahkan alqur'an

Faqih Ahmad Ibnu Sholihin : Ong qur'ane ae diem aja kok,,ndak merasa direndahkan,,,,,di apakan tetep saja dia suci kan?

Faqih Ahmad Ibnu Sholihin : Seperti juga islam,,di hina kek apapapun oleh manusia tetep saja islam,,tak megurangi kebenaranya,,

Ulil Albab : yg penting niat seseorang....lbih baik d bca....dari pada al-quran yg cuma bwt pajangan j

Romy El-falah : Sesuai dengan yg ada di redaksi kitab salaf bahwa membalik mushaf alquran dengan air liur haram karna di anggap menghinanya,Ref:hasyiah albujairimi 2/325

Sederek Sedoyo : Tak golekne referensine iki.

”Al Imam Ibnu Hajar dalam ِAl- Hawasyi Madaniyah menjelaskan tentang keharaman hal tersebut”الحواشي المدنية /خ الاول/ص ١١٦وفى فتاوي الشارح (يعنى ابن حجر) يحرم مس المصحف باصبع عليه ريق اذ يحرم ايصال شئ من البصاق الى شئ من اجزا المصحف الى ان قل. والكلام حيث كان على الاصبع ريق يلوث الورقة اما اذا جف الريق بحيث لاينفصل منه شئ يلوث الورقة فلا حرمة الخ اھ .Diharamkan menyentuh mushaf dengan tangan yang ada air ludahnya. Karena tidak diperbolehkan air ludah mengenai dari bagian-bagian mushaf.Keharaman diatas apabila tangan tersebut masih basah dengan air ludah hingga dapat membasahi mushaf. Namun, jika air ludah tersebut sudah kering dan tidak membasahi mushaf, maka tidak diharamkan menyentuh mushaf dengan tangan tersebut.ِAl- Hawasyi Madaniyah/juz 1/hal 116

Sederek Sedoyo : Haram jika membasahi mushaf Al-qur'an, fi Tarsyih 26,busral- karim juz 1 , hal- 28

Khilaf,.. Menurut Imam Ibnu Hajar tidak boleh, sedang menurut Imam Romli boleh asal bertujuan untuk mempermudah membukanya dan tidak ada maksud menghinanya

وَفِي الْقَلْيُوبِيِّ عَلَى الْمَحَلِّيِّ يَجُوزُ مَا لَا يُشْعِرُ بِالْإِهَانَةِ كَالْبُصَاقِ عَلَى اللَّوْحِ لِمَحْوِهِ ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ ا هـ .وَفِي فَتَاوَى الْجَمَالِ الرَّمْلِيِّ جَوَازُ ذَلِكَ حَيْثُ قُصِدَ بِهِ الْإِعَانَةُ عَلَى مَحْوِ الْكِتَابَةِ وَفِي فَتَاوَى الشَّارِحِ يَحْرُمُ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِإِصْبَعٍ عَلَيْهِ رِيقٌ إذْ يَحْرُمُ إيصَالُ شَيْءٍ مِنْ الْبُصَاقِ إلَى شَيْءٍ مِنْ أَجْزَاءِ الْمُصْحَفِ 

Dalam Kitab Qolyubi ala Almahalli dikatakan “Boleh membuka alQuran dengan jari yang diberi ludah asalkan tidak menimbulkan penghinaan karena dapat mempermudah,Sedang dalam Fatawy Aljamaal Arromli kebolehan tersebut bila bertujuan mempermudah membukanya,.Dalam Fataawa Assyaarih dijelaskan “Haram memegang mushaf dengan jemari yang dibasahi ludah karena HARAM hukumnya mendatangkan sesuatu dari ludah pada bagian sekecil apapun dari mushaf

Tuhfah Al-Muhtaaj II/150

Yudie : Klw haram itu jika dilakukan berdosa... Kalian tahu nda bagaimana proses pencetakan al quran dan pendistribusian nya... Bahan nya.. campuran nya.. Bukan tulisan /mushaf yg kudu di hormat hormati secara berlebihan..tapi makna dan isinya yg kudu dijunjung dan di aktulisasikan dlm kehidupan sehari hari.. kudu suci bersih jika ingin bisa "menyentuh" hingga bisa mengaplikasikan isi al quran tsb.. 

Meski juga jgn mengampang /bermudah mudahan dalam mengamalkan nya... 

Haram halal itu hak Tuhan...




https://www.facebook.com/notes/dialog-santri/membuka-lembar-al-quran-dengan-ludah/1666419330290675

ISTRI DI TINGGAL SUAMI TAK ADA KABAR BERITA


Disini tempatnya orang alim dan pinter.
aku yang bodoh tentang agama minta dijawab pertanyaan ini .
Suami pergi merantau tidak pernah ada kabar sama sekali selama 3 tahun. Apakah istri boleh kawin lagi.
tolong dijawab ya, terima kasih banyak.


Jawaban : 

langkah pertama... harus melalui/melibatkan hakim

ketika seorang suami hilang entah kemana, maka hukumnya ada dua pendapat...

1. qoul qodim, istri termasuk kategori yg berhak mengajukan fasakh, tetapi harus menunggu sampai empat tahun, asumsi ini sebagai ukuran kepastian matinya si suami, setelah empat tahun habis, si istri harus menjalani iddah wafat (4 bulan 10 hari), setelah iddah habis baru dia bisa menikah.

kepastian dan penentuan kematian si suami harus melalui hakim.

ketentuan hukum ini berdasarkan ijtihad Sayyidina Umar RA.

2 qoul jadid, istri TIDAK boleh fasakh dan harus bersabar menunggu nasib, pendapat ini berdasarkan qoul/ijtihad sayyidina Ali KW.

(فصل) إذا فقدت المرأة زوجها وانقطع عنها خبره ففيه قولان (أحدهما) وهو قوله في القديم إن لها أن تنفسخ النكاح ثم تتزوج، لما روى عمرو بين دينار عن يحيى بن جعدة " أن رجلا استهوته الجن فغاب عن أمرأته، فأتت عمر بن الخطاب رضى الله عنه فأمرها أن تمكث أربع سنين، ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج " ولانه إذا جاز الفسخ لتعذر الوطئ بالتعنين وتعذر النفقة بالاعسار، فلان يجوز ههنا - وقد تعذر الجميع - أولى (والثانى) وهو قوله في الجديد وهو الصحيح أنه ليس لها الفسخ، لانه إذا لم يجز الحكم بموته في قسمة ماله لم يجز الحكم بموته في نكاح زوجته، وقول عمر رضى الله عنه يعارضه قول علي عليه السلام " تصبر حتى يعلم موته " ويخالف فرقة التعنين والاعسار بالنفقة، لان هناك ثبت سبب الفرقة بالتعنين، وههنا لم يثبت سبب الفرقة وهو الموت فإن قلنا بقوله القديم قعدت أربع سنين ثم تعتد عدة الوفاة ثم تتزوج، لما رويناه عن عمر رضى الله عنه، ولان بمضي أربع سنين يتحقق براءة رحمها ثم
تعتد: لان الظاهر أنه مات فوجب عليها عدة الوفاة

almajmu' 18/155

ini lengkapnya...dari ibarot almajmu' 18/155

فصل : إذا فقدت المرأة زوجها و انقطع عنها خبره ففيه قولان : أحدهما و هو قوله في القديم أن لها أن تفسخ النكاح ثم تتزوج لما روى عمر بن دينار عن يحيى بن جعدة أن رجلا استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب رضي الله عنه فأمرها أن تمكث أربع سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج و لأنه إذا جاز الفسخ لتعذر الوطء بالتعنين و تعذر النفقة بالإعسار فلأن يجوز ههنا و قد تعذر الجميع أولى
fashlun...

apabila seorang istri kehilangan suaminya dan tidak ada berita (tentang kondisi dan posisinya), maka ada dua qoul:
1. qoul qodim, si istri berhak melakukan fasakh lalu menikah. pendapat ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Dinar dari yahya bin Ju’dah, bahwa ada seorang laki-laki yang disukai oleh Jin, lantas dia hilang meninggalkan istrinya. Lalu Si istri mendatangi Umar bin Khottob. Dan Umar bin Khottob menyuruh si istri untuk menunggunya selama 4 (empat) tahun ditambah ‘iddah wafat (4 bulan 10 hari), setelah itu diperbolehkan menikah. Umar berijtihad seperti ini dengan alasan (menggunakan qiyas awlawi) bahwa ketika seorang istri dibolehkan minta fasakh karena kondisi mandulnya suami atw karena tidak mampunya suami memberi nafkah, maka kondisi ini (hilangnyasuami) jelas lebih memungkinkan untuk fasakh.

و الثاني و هو قوله في الجديد و هو الصحيح أنه ليس لها الفسخ لأنه إذا لم يجز الحكم بموته في قسمة ماله لم يجز الحكم بموته في نكاح زوجته

2. qoul jadid dan ini qoul yg shohih, si istri tidak boleh memfasakh, alasannya, dalam hal harta suami ketika si suami belum dipastikan kematiannya maka hartanya tidak bisa dibagikan sbg warisan (dijadikan tirkah), yang karenanya tidak boleh pula menghukumi si suami telah meninggal sbg alasan untuk bisa menikah.

و قول عمر رضي الله عنه يعارضه قول علي عليه السلام تصبر حتى يعلم موته و يخالف فرقة التعنين و الإعسار بالنفقة لأن هناك ثبت سبب الفرقة بالتعنين و ههنا لم يثبت سبب الفرقة و هو الموت
Adapun ucapan Umar….si istri harus menunggu 4 tahun…. Ini berlawanan dengan ucapan Sayyidina Ali yang menyatakan….. harus bersabar sampai diyakini kematiannya (suami)…..

Qoul Umar ini Juga berlawanan dengan status fasakh karena mandulnya suami. Mandulnya suami bisa menjadi sebab bolehnya fasakh, dan fasakh karena mandul ini adalah fasakh karena sesuatu yng sudah tetap/nyata. Sementara fasakh karena sangkaan kematian suami adalah fasakh karena sesuatu yg belum pasti (baru asumsi).

Jadi, qoul Umar berlawanan dengan dua hal yaitu qoul Ali dan kriteri fasakh.

فإن قلنا بقوله القديم قعدت أربع سنين ثم تعتد عدة الوفاة ثم تتزوج لما رويناه عن عمر رضي الله عنه و لأن يمضي أربع سنين يتحقق براءة رحمها ثم تعتد لأن الظاهر أنه مات فوجب عليها عدة الوفاة
Bila kita menggunakan qoul pertama (qodim) maka si istri harus menjalani masa menunggu 4 tahun plus iddah 4 bulan 10 hari.

قال أبو إسحاق يعتبر ابتداء المدة من حين أمرها الحاكم بالتربص
Abu ushaq berkata: (penghitungan waktu 4 tahun itu) dimulai semenjak ada perintah (dan ketepan) hakim.

و من أصحابنا من قال يعتبر من حين انقطع خبره و الأول أظهر لأن هذه المدة تثبت بالإجتهاد فافتقرت إلى حكم الحاكم كمدة التعنين

Tetapi ada juga dari kalangan sahabat kami (syafi’iyyun) yang menjadikan batasan menunggu si istri itu dimulai sejak berita hilangnya suami (bukan menunggu keputusan hakim). Tetapi pendapat pertama (berdasarkan ketetapan hakim) adalah pendapat yg azh-har, sebab masalah penetapan waktu adalah masalah ijtihad, dan ijtihad membutuhkan ketetapan seorang hakim sebagaimana ketetapan waktu tentang fasakh karena mandul.

mohon dikoreksi dan smoga manfaat.

Sumber : http://www.piss-ktb.com/2012/02/504-istri-menikah-lagi-setelah.html

Wallahua'lam Bisshowaaf

MEMBERI UCAPAN SELAMAT NATAL


Setelah saya cermati dengan seksama spanduk ini ternyata isinya ada seseorang bernama "Haram" sedang mengucapkan selamat hari natal. Yang jadi pertanyaan, siapakah gerangan si "Haram" ini? Dari manakah asalnya orang ini?
Hiks....



Kdg ngeri2 sedap kl liat status/komen yg blg kalo kita ngucapin natal trs auto kafir..
Mas,mbak saat ak memberi ucapan selamat kepernikahan teman yg bisa mendapatkan istri cantik kaya raya bkn berarti ak setuju dg pilihannya trs ak auto jd suami si cwe semlohe kaya raya itu..kl pake analogimu lgsg sipengantin cwe tak gendong kekamar nuh...soale ak sah sbgai auto suaminya.
‪#‎edisi‬ nginceng rok sing kurang bahan.

Jawaban : ala santri Groub Facebook "Dialog Santri"

Swiedak Swiett Sikuroijo DR. KH. Said Aqil Siradj
19 Desember pukul 5:27 ·
DALIL MANA YANG LARANG
UCAPKAN SELAMAT NATAL?
AL-KAFIRUN?
Diriwayatkan Ibnu Ishak, suatu hari orang-orang ARAB QURAISH mendatangi Nabi Muhammad & berkata, "Wahai Muhammad, bagaimana bila kita bekerja-sama dalam ibadah? Kami akan menyembah yang kau sembah, tapi kau juga menyembah yang kami sembah."
Turunlah firman Allah, لَكُم دينُكُم وَلِيَ دينِ , "Untukmu Agamamu dan Untukku Agamaku" (Al-Quran, surat Al-Kafirun, ayat 6). ini adalah ASBABUN NUZUL (sebab turun ayat) Al-Kafirun, ditujukan kepada Arab Quraish yang mengajak MENYATUKAN AGAMA.
Apakah mengucapkan "Selamat Natal" artinya kita MENYATUKAN AGAMA Islam & Kristiani? Ucapan selamat tak lebih dari ADAB SANTUN tidak ada bedanya dengan ucapan "Selamat Ulang Tahun", atau "Selamat Menempuh Hidup Baru" bagi pasangan baru menikah, atau saat mendengar istri kawan baru hamil.
Masalahnya dimana? TIDAK ADA urusannya dengan Akidah, hanya adab BERBAGI BAHAGIA. tidak kurang tidak lebih, karena kita manusia, bukan binatang. Menggunakan Al-Kafirun yang ditujukan kepada ARAB Quraish karena mengajak MENYATUKAN agama untuk mengharamkan "Selamat Natal" jelas Jaka Sembung Bawa Golok!
DALIL MENYERUPAI KAUM?
Syahadat Islam adalah, "Ashadu allailaha illallah, wa'ashadu anna Muhammadar Rosulullah". MENGAPA HARUS ADA kalimat "dan Muhammad utusan Allah"? Karena ISLAM DITURUNKAN kepada Nabi Muhammad SAW.
Apa boleh Syahadat "dan Musa utusan Allah"?
Apa boleh Syahadat "dan Isa utusan Allah"?
Mengapa harus "dan Muhammad utusan Allah?"
KARENA ALQURAN (ISLAM) MUKZIZAT MUHAMMAD
Islam turun kepada Nabi Muhammad menyempurnakan agama-agama yang sudah turun SEBELUM Islam. Agama YUDAISME (Taurah) yang turun kepada Nabi Musa. Agama NASRANI (injil) yang turun kepada Nabi isa (Yesus). ISLAM PUNYA NABI MUHAMMAD.
Agama YUDAISME turun kepada Musa
sebelum Islam turun kepada Muhammad
Agama KRISTIANI turun kepada Isa (Yesus)
sebelum Islam turun kepada Muhammad
CADAR ADALAH TRADISI YUDAISME
SUNAT ADALAH TRADISI YUDAISME
HIJAB ADALAH TRADISI KRISTIANI
Cadar, Sunat, Hijab adalah tradisi agama YUDAISME & KRISTIANI yang sudah dilakukan oleh bangsa Yahudi (bani Israil) & umat Nasrani JAUH SEBELUM Islam turun kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya.
ARTINYA: bila memaksakan dalil "barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia akan menjadi kaum tersebut" untuk mengharamkan ucapan Selamat Natal..
MAKA BERCADAR JADI YAHUDI
MAKA DISUNAT JADI YAHUDI
MAKA BERHIJAB JADI KRISTEN
Berdasarkan KAJIAN inilah Ulama-Ulama Besar Indonesia yang bergelar PROFESOR DOKTOR yang pasti pintar & menguasai ilmu Islam yang luhur menetapkan umat Muslim BOLEH mengucapkan "Selamat Natal"..

SukaBalas16 jam

Yudie Hi.hi.hi.hi...
Bodo amat .. bagi mereka mau mringati hari lahirnya sapa kek..
Bagi q iku lahirnya nabi Isa as...
Hikz...

Keyakinan q bukan formalitas...

Moso kudu aq ulang komemt q ping telu...
Hikz...

Kirana Candra Kanda Dinda
Saya akan coba jelaskan, mohon dipahami secara keseluruhan.
Sesuai dg Al-Qur'an umat muslim meyakini bahwa yang disalib itu bukan Rasulullah Isa Alaihissalam tapi yang diserupakan dengan beliau. Ini poin penting kenapa ucapan Merry Chrismass diharamkan.
Di sisi lain umat muslim meyakini bahwa yang menyebarkan ajaran tauhid sebelum proses penyaliban itu adalah Rasulullah Isa Alaihissalam.
Jadi terlepas benar tidaknya hari kelahiran beliau adalah tgl 25 Desember atau bukan bagi yang ingin mengucapkan selamat natal dimaksudkan mengucapkannya sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran Rasulullah Isa Alaihissalam.

SukaBalas35 jam

Kanda Dinda yg sy tau ayat itu bkn untuk mnyatukn agama tp Nabi Muhammad Saw mau di bohongi oleh orang2 kafir. dg mengatakn. sy mau masuk agamu Muhammad tp syaratnya kamu masuk agamaku. sy ingin nyobak agamamu tp kamu nyobak agamaku. insyaAllah maunya orabg2 kafir hanya smpai sati tahun. kalau agamamu cocok kami akn masuk aganamu. Nabi muhammad Saw di turubkan surah al kafirun. cbk dr atas lihat surah al kafirun itu smuanya adalah jwbn2 dr orang2 kafir krn mrk mngajak tukar menukar agama. kul ya ayyuhal kafirun. la a'budu ma ta" budun. . ila akhirihi. jd aqidah itu tdk bs di ganggu gugat. Wallahu a'lam.
SukaBalas5 jam

https://www.facebook.com/groups/1509277626004847/permalink/1658619077737367/?comment_id=1658805407718734&notif_t=group_comment_reply

Wallahu a'lam Bisshowaaf.

MEMUASKAN ISTRI SAAT BERSETUBUH



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahim.

Berumah tangga menurut Islam adalah untuk membentuk keluarga yang SaMaWa (Sakinah, Mawaddah Warahmah). Hal ini senada dengan firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21.


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21)

Penjelasan tentang Sakinah menurut tafsir Ibnu Katsir dijelaskan ada tiga unsur yaitu saling mengikat, condong kepadanya dan merasa tenang dengannya. Dengan kata lain, Sakinah memiliki arti ketenangan. Salah satu ketenangan yang didapat adalah penyaluran syahwat secara halal menurut agama dan untuk mencapainya tak lain adalah dengan melakukan pernikahan.

Untuk bisa menggapai ketenangan yang dimaksud, setiap suami atau istri harus sama-sama saling terpuaskan karena keduanya memiliki hak yang sama. Sebuah ayat menyatakan bahwa:

“Istri memiliki hak (yang harus dipenuhi suami) sebagaimana kewajiban yang harus ia penuhi untuk suaminya, dengan benar (dalam batas wajar)” (QS Al Baqarah 228)

Sehingga dengan demikian dalam berbagai jenis hubungan apapun, suami dan istri harus menerapkan pedoman ini. Bahkan untuk bisa mencapainya bisa dilakukan dengan jalan bekerjasama dan saling tolong menolong. Saat suami telah merasakan kepuasan dalam berhubungan intim, ia tidak boleh egois dan membiarkan istrinya terlantar dan tak terpenuhi kepuasannya.

Meski dengan alasan ibadah, suami yang tidak memenuhi kewajibannya sangat tidak diperbolehkan. Ini karena setiap diri istri memiliki hak yang harus dipenuhi suaminya. Ini pun pernah dialami oleh sahabat Nabi yaitu Abu Darda r.a

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istri Abu Darda’ yakni Ummu Darda’ dalam kondisi kurang baik. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tidak lagi mempedulikan dunia.” Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. Abu Darda’ menjawab, “Maaf, saya sedang puasa.” Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ memakan makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Melihat itu, Salman mengatakan, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (melayani istri). Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari)

Selain hadist diatas, terdapat pula hadist yang lebih spesifik akan hak istri yang harus dipenuhi oleh suaminya ketika sedang berjima'.

“Jika seseorang di antara kamu berhubungan dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Jika ia menyelesaikan kebutuhannya sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut hingga istrinya mendapatkan kepuasannya juga.” (HR. Abdur Razaq dan Abu Ya’la, dari Anas)

Beberapa pendapat dari Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa suami memiliki kewajiban untuk menggauli istrinya sekemampuannya dan berdasarkan kecukupan sang istri.

Sementara Ibnu Qayyim Al Jauziyah berpendapat bahwa setiap suami harus memuaskan hasrat sang istri ketika berhubungan badan. Bahkan jika perlu, puaskan layaknya ia puas dalam hal makan.

Namun suami kadang tidak selamanya sehat dan mampu untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Ada masanya suami mengalami sakit dan terhalang secara medis untuk melakukan hubungan intim. Solusi dari permasalahan tersebut dikembalikan lagi kepada komitmen kedua pasangan karena pernikahan yang sejati akan didasarkan pada saling ridha diantara keduanya. Keridhaan tersebut pun harus diaplikasikan dalam berbagai permasalahan lainnya sehingga nantinya rumah tangga tidak mudah goyah dan tetap harmonis dalam jalan yang Allah ridhai.

Alhamdulillahirabbil'alamiin.

Wssalamu'alaikum Wr. Wb.

DELIMA SANTRI

Terinspirasi dari sebuah kisah Buah Delima dan Santri yang taat dengan kejujurannya




Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba iamelihat buah delima (satu riwayat: Apel) yang hanyut terbawa air sungai. Ia ambil buah itu dan tanpa pikir panjang langsung memakannya. Ketika ia sudah menghabiskan setengah buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah delima yang dimakan itu bukan miliknya. Sipemuda berhenti makan. Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan aliran sungai, mencari dimana ada pohon delima.

Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini.
Sipemuda lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah dia dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah baya. “Saya telah memakan buah delima anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah anda mengihlaskannya?” kata si pemuda.
Orang tua itu, terdiam sebentar, lalu menatap tajam. “Tidak semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga dan membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa gaji,” katanya kepada si pemuda.
Demi memelihara perutnya dari makanan yang ia anggap tidak halal, si pemuda pun langsung menyanggupinya. Setelah sebulan, ia lalu menemui pemilik kebun. “Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah aku makan?” “Tidak bisa ! ada satu syarat lagi, Kamu harus menikahi putri saya; Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.”
si pemuda terdiam, Tak kuasa menolak persyaratan itu. Ia pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri anak gadisnya dengan disaksikan beberapa orang, tanpa perantara penghulu.
Setelah akad nikah berlangsung, pemilik kebun memerintahkan Idris menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis buta, tulis, bisu dan lumpuh yang ditemui seperti yang dikatakan pemilik kebun, tapi seorang gadis cantik yang nyaris sempurna. Si pemuda balik lagi dan menemui pemilik kebun "maaf pak,gadis yang kutemui bukan yang anda sebutkan ciri-cirinya, ia tak buta tidak tuli dan bisu serta lumpuh." protes si pemuda. Sang pemilik kebun tersenyum,iapun menjelaskan :" yang aku maksud ialah buta dari zina mata , tuli dari mendengar sifat tercelabisu dari kata-kata kotor dan lumpuh dari jalan maksiat. Jadi sekarang temuilah dan ia sepenuhnya milikmu".
Tidak rela melepas si pemuda begitu saja; Seorang pemuda yang jujur dan menjaga diri dari makanan yang tidak halal. Ia ambil sipemuda itu sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama Muhammad bin Idris As-Syafi'i, seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin didunia.
Nasab beliau : Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syaafi' bin Saa ib bin 'Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib bin 'Abdi Manaf. Imam syafi'i nasabnya bertemu dengan Nabi saw di 'Abdi manaf,jadi beliau bukan keturunan Nabi saw.
Itulah sekelumit cerita seorang yang wira'i dalam menjaga makanan agar dalam darahnya tak secuilpun bercampur barang haram.

https://www.facebook.com/groups/delimasantri/?fref=ts